NAFASNYA tersengal-sengal. Keringat mengalir deras dari batok kepalanya yang nyaris tanpa rambut. Mengkilat diterpa sinar terik matahari siang. Kemeja lusuh yang dikenakannya basah karena keringat. Menempel di tubuhnya yang ringkih dan kurus.
Sejenak ia melepas lelah di teras rumah warga. Seekor ayam jantan warna gelap dikepit di lengan kanannya. Di tangan kiri, kantong plastik putih transparan berisikan telur rebus, ikan kering dan udang kering. Ada juga pinang kering, tembakau kampung (irisan daun tembakau kering, red), masing-masing dipisahkan dalam bungkusan plastik transparan.
"Ini semua saya jual. Saya jual dengan berjalan kaki, keliling kampung. Dari satu rumah ke rumah lain," kisah Ba'i Snak, demikian ia sering disapa warga.
Pria kelahiran Fatubena, Niki-Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) ini mengaku mulai berjualan telur rebus tahun 1987, saat hijrah ke Kupang. "Orang yang pertama jual telur rebus di Kota Kupang adalah saya. Saya jual di terminal. Kadang jual juga di kantor-kantor. Setelah itu baru orang lain meniru saya," kisah Ba'i Snak.
Suatu saat, ia berjualan telur dan kacang rebus dengan berjalan kaki dari Kota Kupang hingga tiba di Noelbaki, Kabupaten Kupang. Itu berarti pria yang mempunyai 13 orang anak ini berjalan kaki hampir 20 kilometer. "Ada orang kasihan sama saya lalu dia borok (memborong, red) habis jualan saya. Lalu dia tawarkan saya jadi gembala sapi dan kambing miliknya," kisah Ba'i Snak dengan mata menerawang jauh.
Ia seakan menelisik kembali jejak perjalanan hidupnya yang samar-samar digerus waktu. Ba'i Snak pun banting setir jadi penggembala sapi di Noelbaki. Ia menggembala 15 ekor sapi dan tujuh ekor kambing. Setiap pagi ia membawa ternak milik majikannya ke padang rumput. Upahnya, beras 5 kilogram, dan uang Rp 7.500.
Hampir tiga tahun jadi penggembala, Bai Snak jatuh sakit. Sakitnya semakin parah lalu kakinya lumpuh. "Saya jatuh sakit karena menolak pekerjaan sebagai koster di gereja oleh seorang pendeta. Ketika dalam kondisi sakratulmaut, saya mendengar bisikan di telinga supaya saya terima tawaran kerja sebagai koster. Saat saya jawab siap kerja, seketika itu saya sembuh dan langsung bisa berdiri dan berjalan," kisah Ba'i Snak.
Ia pun bekerja sebagai koster di Gereja Kristen Narwastu Noelbaki dari tahun 1990-2003 atau selama 13 tahun dengan gaji tidak sampai Rp 50.000 per bulan. Banyak suka dan duka yang dialaminya.
"Banyak pelajaran soal kejujuran yang saya peroleh. Saya menyaksikan sendiri pejabat gereja ambil semen, seng dan kayu yang disumbangkan untuk gereja. Mereka pakai untuk bangun rumah mewah. Uang yang disumbangkan untuk gereja dari orang Cina, yang dititipkan ke saya, juga diambil. Bahkan saya diancam harus serahkan uang itu," tuturnya.
Karena kesal, ia berhenti jadi koster. Dan kembali menjadi penjual telur rebus sejak tahun 2003 hingga sekarang. Kini Ba'i Snak bekerja keras membanting tulang untuk menyekolahkan 13 orang anaknya dengan menjual telur rebus keliling kampung.
Dua orang anaknya kini sedang kuliah di Universitas Kristen (Unkris) Artha Wacana Kupang. Dari mana dapat uang banyak untuk menyekolahkan anak?
"Saya ini orang paling kaya di dunia. Uang saya tidak disimpan di bank, tetapi saya menabung di surga. Kalau anak saya butuh uang untuk beli baju seragam sekolah, saya minta di Tuhan dalam doa. Kalau anak saya minta untuk bayar uang kuliah, saya tinggal minta di Tuhan. Herannya, Tuhan memberi lebih dari yang saya minta. Tuhan memberi lewat orang-orang yang membeli telur rebus saya," jelasnya.
Sampai kapan mau berjualan telur rebus? " Saya akan jual telur rebus sampai mata menutup rapat, sampai masuk dalam kubur," pungkasnya.
Selamat berjuang! Engkau mengajarkan kami tentang kerja keras dengan jujur, bukan hanya meminta belas kasihan.(julianus akoit)
Saya copy dari Pos Kupang
No comments :
Post a Comment